Sebanyak 1 item atau buku ditemukan

Juris Muda

Bunga Rampai Ilmu Hukum

Artikel pertama membahas tengan Virtual Police yang secara berkelompok ditulis oleh Ardhana Christian Noventri, Noering Ratu Fatheha Fauziah Sejati, dan Qona’Aha Noor Maajid. Kebebasan berekspresi yang mudah dilakukan dalam era disrupsi teknologi4.0 berupaya dibatasi oleh Surat Edararan Kapolri Nomor 2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Pembahasan menekankan pada perlindungan dan prinsip hak asasi manusia, baik yang diatur secara nasional atau internasional. Virtual Police seharusnya dilaksanakan dengan memperhatikan 2 aspek yaitu: pertama, dilakukan dengan menerapkan tata kelola internet yang baik (good internet governance) serta melibatkan seluruh pihak yang terkait; kedua, harus memenuhi semua prinsip yang terkandung dalam three part test yaitu meliputi provide by law, legitimate aim, dan necessary. Artikel kedua terkait pengaturan Video on Demad (VoD) yaitu sistem yang memungkinkan penggunanya untuk dapat memilih dan menonton video dari internet sesuai dengan keinginannya. Rahajeng Dzakiyya Ikbar, Stefania Arshanty Felicia, Harven Filippo Taufik menyatakan VoD merupakan imbas dari relasi antara masyarakat dengan internet beserta dampak negatifnya (contohnya menyinggung SARA, berisi pornografi dan kekerasan). VoD dalam perspektif Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran akan dibandingkan dengan model pemberlakuan di Uni Eropa dan Asia Tenggara. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga pengawas hanya fokus pada tayangan di televisi dan belum menjangkau layanan VoD. Pengawasan VoD yang dilakukan di Uni Eropa dengan nama Audiovisual Media Services Directive dan di Singapura melalui Infocomm Media Development Authority kiranya dapat dijadikan sebagai pembelajaran. Artikel ketiga yang digagas oleh Kornelius Benuf dan Rizky Prasetyo membahas relasi kesamaan hakekat hukum progresif dengan perkembangan teknologi. Bahwasannya hukum progresif merupakan jawaban atas ketertinggalan hukum positif dari pesatnya perkembangan teknologi. Hukum positif dinilai bersifat kaku dan belum mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi akibat kemajuan teknologi (contohnya kasus pencurian data pribadi dan alternatif penyelesaian sengketa online). Sebaliknya, hukum progresif yang bersifat fleksibel dan responsif dianggap mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi akibat kemajuan teknologi, sehingga disimpulkan muara pada hukum dan teknologi adalah untuk manusia. Artikel keempat juga membahas tentang Virtual Police, berbeda dengan tulisan pertama, Erlangga Yudha Prasetya, Farhan Adin Nugroho dan I Gusti Ngurah Anantha Wikrama Jayaningrat fokus pada Virtual Police sebagai cyber crime dan perlindungan atas hak privasi tersebut. Prinsipnya, hak atas privasi sebagai hak asasi manusia sebagaimana dirujuk dari Pasal 28A s/d Pasal 28I dan Pasal 28J UUD NRI 1945 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 bukan merupakan hak absolut. Tulisan ini menyarankan walaupun mekanisme kerja Virtual Police dianggap tidak melanggar hak atas privasi seseorang, namun sebaiknya dibentuk peraturan khusus yang menjadi payung hukum-nya sehingga terdapat suatu kepastian hukum dalam penerapan Virtual Police. Hidayatul Sabrina, Nanda Alifia Widyadhana dan Jazilah Astiti menulis artikel kelima terkait financial technology (fintech). Fintech di era revolusi industri 4.0 memberikan kemudahan sekaligus kecemasan, sebab akses pembayaran, pinjaman dan jasa layanan lainnya semakin mudah namun pinjaman online (peer-to-peer lending/ P2PL) juga banyak merugikan. Menurut Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), dibalik kemudahan pinjaman, fintech mensyaratkan pemberian akses penuh oleh calon peminjam termasuk semua nomor kontak dan akses akun media sosial yang bisa merugikan pihak ketiga. Keabsahan pihak ketiga sebagai penjamin tanpa persetujuan dengan alasan emergency contact adalah tidak sah dan bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut, perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan data pribadi pihak ketiga dapat dilakukan dengan mulai membahas dan mengesahkan RUU PDP. Penggunaan Artificial Intelligence (AI) ditulis oleh Ridho Budaya Septarianto, Nurasyifah Khoirala dan Avany Mahmudah dalam artikel keenam. Saat ini hampir seluruh aspek kehidupan manusia tidak terlepas dari teknologi, termasuk bidang hukum antara lain saat membuat peraturan yang memanfaatkan kecerdasan buatan atau AI. Tulisan ini menyatakan bahwa AI sebagai bentuk perkembangan teknologi ilmu komputer sangat membantu efisiensi pembentukan peraturan sebab secara teknis mampu mengidentifikasi, menghilangkan atau mengintegrasikan data yang perlu dan tidak diperlukan. Penggunaan yang efektif dan efisien dianggap mampu menciptakan produk legislasi yang lebih harmonis. Artikel ketujuh tentang data pribadi dengan metode perbandingan dilakukan oleh Kartika Saraswati. Kejadian penyalahgunaan data pribadi mulai menjadi perhatian saat Cambridge Analytica menggunakan data pengguna Facebook untuk pemilu presiden di tahun 2016. Ketiga pihak yaitu perusahaan, konsumen dan Pemerintah diharapkan mulai tanggap dengan semakin kompleksnya permasalahan terkait data pribadi. Perbandingan dilakukan antara Indonesia, Amerika Serikat serta Uni Eropa. Model Uni Eropa nyatanya lebih memberikan pengaruh dalam pengaturan data pribadi di Indonesia dan negara lainnya. Amerika Serikat lebih menekankan pada hak kebendaan, sementara Uni Eropa melalui EU GDPR menyatakan sebagai bagian dari HAM. Praktik insider trading saham di masa pandemi covid-19 dibahas oleh Inneke Agustin dalam artikel kedelapan. Data statistik menunjukkan pandemi covid-19 justru meningkatkan jumlah investor pasar modal di Indonesia dari 3,88 juta menjadi 4,51 juta orang. Pasar modal yang menjadi barometer perkembangan perekonomian suatu negara, nyatanya juga menimbulkan berbagai kejahatan, salah satunya adalah insider trading. Pembahasan awal menunjukkan disgorgement dilakukan sebagai upaya perlindungan investor yang dirugikan akibat insider trading bila dirujuk dari Pasal 52 Ayat (2) UU OJK dan Pasal 19 Peraturan Otorits Jasa Keuangan Nomor 49/POJK.04/2016 tentang Dana Perlindungan Pemodal.Kedua tentang indikator transaksi tidak wajar atau insider trading dalam pasar modal yang nampak dari Unusual Market Activity/Unusual Moving Average meliputi: abnormal return, volatilitas return, nilai transaksi, dan dominasi anggota bursa. Artikel terakhir oleh Annisa Regita Cahyani dan Swesty Medhilia Puteri menuliskan tentang AI dalam perspektif perlindungan tenaga kerja di Indonesia. Di Indonesia penggunaan AI kini semakin marak, contohnya pembayaran tol dengan kartu e-toll, pengawasan tempat umum dengan CCTV, penerapan tilang elektronik, penerapan e-court, dan pengawasan udara menggunakan drone. Tulisan ini menunjukkan bahwa AI telah menggeser peran manusia sebagai tenaga kerja, sehingga banyak pengangguran. Pemerintah disarankan membuat peraturan yang mengatur tentang: pertama, penggunaan AI agar tidak mengancam ketenagakerjaan di Indonesia; kedua, membuat kualifikasi AI yang bisa digunakan di Indonesia; ketiga, mengadakan pelatihan bagi tenaga kerja supaya mampu menguasai dan mengembangkan AI, serta lebih kreatif dan inovatif dalam menghadapi revolusi industri.

Penggunaan yang efektif dan efisien dianggap mampu menciptakan produk legislasi yang lebih harmonis. Artikel ketujuh tentang data pribadi dengan metode perbandingan dilakukan oleh Kartika Saraswati.